Diperkirakan ada sekitar 124 - 196 ribu pengguna napza suntik di Indonesia sampai akhir tahun 2002. Merebaknya penggunaan napza1 di berbagai wilayah Indonesia sungguh memprihatinkan, apalagi sebagian penggunanya adalah kaum usia muda. erilaku penggunaan alat suntik yang tidak steril bersama menyebabkan penularan HIV dan virus hepatitis C yang yang relatif lebih cepat pada pengguna napza suntik.
Program intervensi diharapkan tidak saja mampu mencegah timbulnya pengguna baru, tetapi juga dapat meminimalkan dampak buruk penularan HIV dan hepatitis C. pengamatan pada pengguna napza suntik yang dirawat di RS Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta mengindikasikan peningkatan HIV yang sangat pesat sampai mencapai 48 persen di tahun 2001 (lihat gambar 3.1). Hampir separuh pengguna napza suntik sudah tertular HIV yang dapat menjadi sumber penularan bagi pengguna napza suntik yang lain, karena penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril.
Selain itu pengguna napza suntik mempunyai perilaku seks berisiko, yaitu membeli jasa seks tanpa menggunakan kondom2. Telah diketahui bahwa hampir separuh pengguna napza suntik kena HIV, maka dengan perilaku seks berisiko tersebut akan memperluas penularan selanjutnya. Hanya dengan menghindari penggunaan bersama alat suntik yang tidak seteril serta penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks yang akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas tidak hanya pada sesama pengguna napza suntik, te
tapi juga kelompok lain yaitu kelompok perilaku seks berisiko.
Masalah penggunaan napza, tidak hanya terbatas merebak di kalangan masyarakat bawah, tetapi juga menjalar ke generasi muda pada umumnya. Antara lain melalui proses coba-coba atau dorongan dari teman sebaya, dan semakin mudahnya akses terhadap napza, maka penggunaan napza meningkat dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Hasil survei perilaku di Jakarta menunjukkan ada sekitar 30 persen pelajar SMU yang pernah mencoba napza (lihat gambar 5.1). Hasil studi yang dilakukan oleh Puslitkes UI pada pengguna napza suntik di Jakarta, Surabaya, dan Bandung menunjukkan hal-hal yang berbeda. Sebagian besar pengguna napza suntik ternyata tinggal bersama dengan anggota keluarga dan berpendidikan SMU ke atas. Walaupun semua mengetahui bahwa pemakaian bersama jarum tidak steril bisa menularkan HIV, tetapi sebagian besar yang tetap menggunakan jarum tidak steril secara bersama.
Diakui bahwa tidak mudah melakukan intervensi perubahan perilaku pada kelompok pengguna napza suntik, karena stigma dan anggapan yang keliru masih meluas. Masalah kecanduan dapat dianggap seperti penyakit kronis yang sebenarnya dapat disembuhkan. Tetapi sampai sekarang, para pengguna napza masih dianggap sebagai suatu kejahatan, bukan sebagai korban atau penderita adiksi yang perlu ditolong.
Memang sungguh berat tantangan untuk melakukan intervensi perubahan perilaku. Jika kita dapat melakukan upaya intervensi tersebut pada kelompok napza suntik dengan sukses, maka kita dapat mencegah sebagian besar penularan HIV yang akan terjadi. Upaya tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, karena kita tidak saja mampu mencegah infeksi baru HIV pada para pengguna napza suntik itu sendiri, tetapi juga sekaligus mencegah perluasan penularan HIV ke kelompok berisiko lainnya, terutama ke pasangan mereka serta anaknya.
Tingkat penularan HIV yang tinggi pada pengguna napza suntik dapat meningkatkan tingkat penularan HIV melalui kegiatan seksual berisiko.
Apakah narapidana rawan tertular HIV?Seiring dengan peningkatan jumlah narapidana napza, terjadi juga peningkatan penularan HIV pada penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lihat gambar 3.2)
Kemungkinan besar penularan HIV juga terus terjadi pada institusi rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Dengan sarana yang sangat terbatas, maka penggunaan
bersama alat suntik yang tidak steril akan semakin meningkatkan risiko penularan. Selama ini belum ada perhatian khusus untuk melakukan upaya penyuluhan serta upaya lain untuk mengurangi risiko penularan HIV serta virus lainnya.
Risiko penularan akan semakin meluas bila kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan pelindung juga terjadi di tempat tersebut. Tingkat penularan infeksi menular seksual pada narapidana tertinggi yang pernah dilaporkan sampai tahun 2001 sekitar 10 persen. Tingkat penularan tersebut mengindikasikan adanya perilaku seksual berisiko di kalangan narapidana.
Penularan HIV dapat semakin meluas, ketika napi kembali ke masyarakat luas; Penularan dapat berlanjut ke pasangan seks mereka, apalagi bila mereka tidak tahu sudah tertular dan tidak tahu cara-cara pencegahan penularan HIV.
Sudah waktunya diselenggarakan upaya penanggulangan HIV menjangkau para penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, mengingat peningkatan penularan HIV yang cukup tajam selama beberapa tahun terakhir ini. Hal tersebut mengindikasikan adanya perilaku berisiko untuk tertular dan mungkin sebagian besar napi tidak memperoleh informasi yang berkaitan dengan cara-cara penularan dan pencegahannya.