Senin, 05 Januari 2009

Apakah remaja berisiko untuk tertular HIV?



Membicarakan remaja adalah membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Para remaja diharapkan tidak melakukan perilaku berisiko untuk tertular HIV, mengingat besarnya dorongan rasa ingin tahu dan masih terbatas pengetahuan tentang dampak perilaku berisiko. Hasil surveilans perilaku pada kelompok pelajar tingkat SMU di Jakarta, menunjukan bahwa ada 8 persen pelajar pria dan 5 persen pelajar wanita pernah melakukan hubungan seks. Ternyata perilaku yang lebih berisiko jauh lebih besar, yaitu ada sekitar 30 persen pada pelajar pria dan 6 pelajar perempuan pernah mencoba napza (lihat gambar 5.1). Sekitar 2 persen lebih pernah menggunakan napza suntik.
Menyadari perilaku berisiko sudah dimulai pada saat usia remaja, maka diperlukan upaya-upaya program pendidikan yang mengajarkan risiko penularan dan cara-cara pencegahan yang sesuai, seperti menghindari perilaku seks serta penggunaan zat adiktif. Tidak hanya adanya keingintahuan dan dorongan teman, tetapi juga kurang pengetahuan dan ketrampilan untuk melindungi diri ikut mempengaruhi adanya perilaku berisiko.
Dunia sudah sepakat untuk menurunkan kejadian HIV pada kaum muda usia 15-24 tahun menjadi seperempatnya secara global pada tahun 2010. Upaya tersebut perlu dimulai sekarang juga, terutama untuk mengurangi kerawanan serta meningkatkan ketrampilan kaum muda agar terhindar dari penularan HIV serta penggunaan napza. Upaya tersebut diharapkan dapat dilakukan secara structural sehingga dapat menjangkau generasi muda yang sedang sekolah atau di luar sekolah.

Perilaku seks berisiko di Indonesia






Meningkatnya perilaku seks berisiko di Indonesia, tidak hanya terbatas pada kelompok heteroseksual, tetapi juga pada kelompok lelaki yang suka seks dengan lelaki, antara lain waria penjaja seks, lelaki penjaja seks dan gay.
Kegiatan jasa seks tumbuh pesat di penjuru nusantara. dengan skala kegiatan jasa seks sangat bervariasi. Wanita yang menjaja seks dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu wanita penjaja seks secara langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan wanita penjaja seks (WPS) langsung yaitu mereka yang menjajakan jasa seks di lokalisasi, rumah-rumah prostitusi, atau di jalanan. Sedangkan penjaja seks tidak langsung, pada umumnya terselubung dalam industri hiburan dan kebugaran, seperti bar, karaoke, panti pijat, dan lain sebagainya. Diperkirakan ada sekitar 190 - 270 ribu wanita penjaja seks di Indonesia, dan ada sekitar 7-10 juta lelaki yang menjadi pelanggan jasa seks. Lebih dari 50 persen lelaki pelanggan tersebut mempunyai pasangan tetap atau berstatus kawin. Ironisnya kurang dari 10 persen yang selalu menggunakan kondom agar tidak tertular infeksi menular seksual termasuk HIV.
Hasil surveilans HIV menunjukkan peningkatan penularan HIV pada wanita penjaja seks. Bila kita tidak berhasil meningkatkan penggunaan kondom pada kegiatan seks komersial, maka penularan akan terus berlangsung tidak hanya dari penjaja seks ke pelanggan atau sebaliknya, tetapi juga meluas ke pasangan tetap (istri) dari suami yang merupakan pelanggan penjaja seks. Walaupun pasangan tetap tersebut hanya berhubungan seks dengan satu orang saja, suaminya. Kegiatan jasa seks tidak hanya terbatas pada perempuan penjaja seks. Dalam jumlah yang terbatas juga mulai tumbuh kegiatan jasa seks yang dilakukan oleh lelaki penjaja seks dan waria.

Perilaku seks berisiko yang lain: Waria dan Lelaki Suka Seks Lelaki
Perilaku seks kaum lelaki ternyata jauh lebih kompleks, karena ada lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki, dengan perempuan, atau dengan waria. Kenyataan bahwa ada kaum lelaki di Indonesia yang berorientasi atau memilih hubungan seks dengan sesamanya juga menumbuhkan industri seks yang lain. Di kota-kota besar di Indonesia tumbuh jasa seks yang dilakukan oleh kaum waria dan juga kaum lelaki yang sama-sama melayani pelanggan lelaki. Pada kelompok waria di Jakarta terjadi meningkatan yang cukup tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (lihat gambar 4.1). Ada peningkatan tajam dari 6 persen di tahun 1997 menjadi 21.7 persen 2002. Peningkatan tajam tersebut dapat juga terjadi pada kelompok lain yang sering melakukan seks anal tanpa pelindung. Diperkirakan saat ini ada sekitar 1,2 juta (600 ribu - 1.7 juta) kelompok gay, sekitar 8-15 ribu waria, dan sekitar 2500 lelaki penjaja seks. Hasil studi perilaku dan survei serologis pada kelompok-kelompok lelaki suka seks lelaki menunjukkan perilaku seks berisiko, yaitu seks anal tanpa menggunakan kondom dan pelumas. Pelumas digunakan pada seks anal agar menghindari perlukaan yang memudahkan terjadi penularan.
Dampak perilaku seks berisiko, terlihat pada kejadian HIV dan riwayat infeksi menular seksual (IMS) yang cukup tinggi, terutama pada waria yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya (lihat gambar 4.2). Seperti diketahui, adanya IMS dapat mempermudahkan penularan HIV. Upaya pengobatan IMS merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mecegah penularan HIV selanjutnya pada kelompok dengan kejadian IMS yang cukup tinggi.

Penggunaan napza suntik, cara penularan HIV yang efisien










Diperkirakan ada sekitar 124 - 196 ribu pengguna napza suntik di Indonesia sampai akhir tahun 2002. Merebaknya penggunaan napza1 di berbagai wilayah Indonesia sungguh memprihatinkan, apalagi sebagian penggunanya adalah kaum usia muda. erilaku penggunaan alat suntik yang tidak steril bersama menyebabkan penularan HIV dan virus hepatitis C yang yang relatif lebih cepat pada pengguna napza suntik.
Program intervensi diharapkan tidak saja mampu mencegah timbulnya pengguna baru, tetapi juga dapat meminimalkan dampak buruk penularan HIV dan hepatitis C. pengamatan pada pengguna napza suntik yang dirawat di RS Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta mengindikasikan peningkatan HIV yang sangat pesat sampai mencapai 48 persen di tahun 2001 (lihat gambar 3.1). Hampir separuh pengguna napza suntik sudah tertular HIV yang dapat menjadi sumber penularan bagi pengguna napza suntik yang lain, karena penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril.
Selain itu pengguna napza suntik mempunyai perilaku seks berisiko, yaitu membeli jasa seks tanpa menggunakan kondom2. Telah diketahui bahwa hampir separuh pengguna napza suntik kena HIV, maka dengan perilaku seks berisiko tersebut akan memperluas penularan selanjutnya. Hanya dengan menghindari penggunaan bersama alat suntik yang tidak seteril serta penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks yang akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas tidak hanya pada sesama pengguna napza suntik, tetapi juga kelompok lain yaitu kelompok perilaku seks berisiko.
Masalah penggunaan napza, tidak hanya terbatas merebak di kalangan masyarakat bawah, tetapi juga menjalar ke generasi muda pada umumnya. Antara lain melalui proses coba-coba atau dorongan dari teman sebaya, dan semakin mudahnya akses terhadap napza, maka penggunaan napza meningkat dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Hasil survei perilaku di Jakarta menunjukkan ada sekitar 30 persen pelajar SMU yang pernah mencoba napza (lihat gambar 5.1). Hasil studi yang dilakukan oleh Puslitkes UI pada pengguna napza suntik di Jakarta, Surabaya, dan Bandung menunjukkan hal-hal yang berbeda. Sebagian besar pengguna napza suntik ternyata tinggal bersama dengan anggota keluarga dan berpendidikan SMU ke atas. Walaupun semua mengetahui bahwa pemakaian bersama jarum tidak steril bisa menularkan HIV, tetapi sebagian besar yang tetap menggunakan jarum tidak steril secara bersama.
Diakui bahwa tidak mudah melakukan intervensi perubahan perilaku pada kelompok pengguna napza suntik, karena stigma dan anggapan yang keliru masih meluas. Masalah kecanduan dapat dianggap seperti penyakit kronis yang sebenarnya dapat disembuhkan. Tetapi sampai sekarang, para pengguna napza masih dianggap sebagai suatu kejahatan, bukan sebagai korban atau penderita adiksi yang perlu ditolong.
Memang sungguh berat tantangan untuk melakukan intervensi perubahan perilaku. Jika kita dapat melakukan upaya intervensi tersebut pada kelompok napza suntik dengan sukses, maka kita dapat mencegah sebagian besar penularan HIV yang akan terjadi. Upaya tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, karena kita tidak saja mampu mencegah infeksi baru HIV pada para pengguna napza suntik itu sendiri, tetapi juga sekaligus mencegah perluasan penularan HIV ke kelompok berisiko lainnya, terutama ke pasangan mereka serta anaknya.
Tingkat penularan HIV yang tinggi pada pengguna napza suntik dapat meningkatkan tingkat penularan HIV melalui kegiatan seksual berisiko.

Apakah narapidana rawan tertular HIV?
Seiring dengan peningkatan jumlah narapidana napza, terjadi juga peningkatan penularan HIV pada penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lihat gambar 3.2)
Kemungkinan besar penularan HIV juga terus terjadi pada institusi rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Dengan sarana yang sangat terbatas, maka penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril akan semakin meningkatkan risiko penularan. Selama ini belum ada perhatian khusus untuk melakukan upaya penyuluhan serta upaya lain untuk mengurangi risiko penularan HIV serta virus lainnya.
Risiko penularan akan semakin meluas bila kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan pelindung juga terjadi di tempat tersebut. Tingkat penularan infeksi menular seksual pada narapidana tertinggi yang pernah dilaporkan sampai tahun 2001 sekitar 10 persen. Tingkat penularan tersebut mengindikasikan adanya perilaku seksual berisiko di kalangan narapidana.
Penularan HIV dapat semakin meluas, ketika napi kembali ke masyarakat luas; Penularan dapat berlanjut ke pasangan seks mereka, apalagi bila mereka tidak tahu sudah tertular dan tidak tahu cara-cara pencegahan penularan HIV.
Sudah waktunya diselenggarakan upaya penanggulangan HIV menjangkau para penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, mengingat peningkatan penularan HIV yang cukup tajam selama beberapa tahun terakhir ini. Hal tersebut mengindikasikan adanya perilaku berisiko untuk tertular dan mungkin sebagian besar napi tidak memperoleh informasi yang berkaitan dengan cara-cara penularan dan pencegahannya.

Berapa orang yang tertular HIV di Indonesia




Tidak mudah untuk memperkirakan jumlah orang yang telah tertular HIV di Indonesia. Disadari bahwa perkiraan jumlah orang tertular HIV sangat penting untuk memperkirakan dampak buruk sosial-ekonomi yang perlu ditanggulangi serta menyadari bahwa jika penularan terus berlangsung maka beban tersebut akan semakin besar. terjadinya dampak yang lebih buruk akibat peningkatan epidemi HIV tersebut perlu dicegah dan ditanggulangi secara bersamasama.

Perkiraan jumlah orang yang rawan tertular HIV
Para ahli memperkirakan bahwa sampai tahun 2002 ada sekitar 12-19 juta orang di Indonesia yang rawan tertular HIV1. Jenis kelompok rawan tertular HIV yang diidentifikasi antara lain adalah:

- Pengguna napza suntik
- Wanita penjaja seks
- Lelaki pelanggan dari wanita penjaja seks
- Lelaki suka seks dengan lelaki, antara lain Lelaki penjaja seks, dan gay
- Waria penjaja seks dan pelanggannya
- Pasangan seks dari kelompok berisiko tersebut

Berdasarkan hasil-hasil surveilans HIV dan beberapa studi pada kelompokkelompok rawan tersebut, diperkirakan ada sekitar 90-130 ribu orang tertular HIV sampai tahun 2002; Sekitar 25 persen diantaranya adalah perempuan.Secara keseluruhan cara penularan pada pengguna napza suntik dan pelanggan penjaja seks berkontribusi cukup besar pada jumlah orang tertular HIV. Diperkirakan pula, ada 14 persen pasangan seks (isteri atau suami) dari kelompokkelompok rawan tersebut juga telah tertular HIV (lihat gambar 2.1). Walaupun pasangan tetap tersebut hanya mempunyai satu pasangan saja, yaitu suaminya. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, karena selama ini kegiatan penanggulangan HIV belum banyak menjangkau pasangan-pasangan tetap dari individu-individu yang berisiko tersebut.

Berapa banyak orang yang akan tertular HIV?

Upaya-upaya pencegahan diharapkan dapat mencegah terjadinya penularan baru. Bila tidak ada perluasan upaya pencegahan yang intensif dan mampu menjangkau kelompok-kelompok yang rawan tertular HIV, maka penularan baru sulit dicegah.
Berdasarkan perhitungan matematis, dengan menggunakan informasi hasil perkiraan jumlah orang rawan tertular HIV, serta variabel perilaku yang diperoleh dari surveilans HIV, diperkirakan ada sekitar 80 ribu orang yang akan tertular HIV di tahun 2003 saja. Yang memprihatinkan adalah 80 persen lebih diantara kasus baru HIV yang diperkirakan tersebut berasal dari para pengguna napza suntik (lihat gambar 2.2).

Tingginya tingkat penularan HIV di kalangan pengguna napza suntik bisa dimengerti, mengingat cukup banyak jumlah pengguna napza, termasuk napza suntik, serta HIV sangat efisien ditularkan pada penggunaan alat suntik yang tidak steril secara bertukaran.

PENDAHULUAN

Sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS pada tanggal 23 April 2002, dirasakan sekali kebutuhan yang sangat mendesak tentang informasi terbaru situasi epidemi HIV serta faktor perilaku yang mempengaruhi penyebarannya. Informasi tersebut tidak hanya berguna dalam memahami secara lebih baik perjalanan epidemi HIV di kawasan nusantara, juga untuk memfokuskan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia agar berhasilguna. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi informasi tersebut antara lain penguatan sistem pemantauan HIV di Indonesia. Tahun ini Departemen Kesehatan telah melaksanakan surveilans HIV generasi kedua di beberapa propinsi uji-coba. Adapun yang sistematik dilakukan yaitu memperkuat sistem surveilans sentinel HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), melakukan surveilans perilaku, serta upaya pemanfaatan data surveilans tersebut untuk perencanaan kegiatankegiatan penanggulangan yang bersifat strategik baik di tingkat lokal maupun nasional.
Selain itu, sudah cukup mendesak adanya informasi yang akurat tentang jumlah populasi rawan tertular HIV dan jumlah orang yang telah tertular HIV di Indonesia. karena tidak saja diperlukan untuk penyusunan kebijaksanaan maupun perumusan kegiatan-kegiatan penanggulangan, serta perlunya dukungan dari berbagai pihak agar masalah epidemi HIV menjadi masalah bersama dan ditanggulangi secara bersama. Pada penyusunan kebijaksanaan, informasi tersebut diperlukan dalam kegiatankegiatan advokasi, perencanaan strategis, pengalokasian sumber-daya yang relative terbatas, serta melakukan proyeksi dan mengestimasi beban masalah kesehatan akibat dampak perluasan epidemi HIV.
Pada penyusuan program penanggulangan, informasi tersebut diperlukan dalam penyusunan rencana intervensi, penetapan target sasaran, strategi penjangkauan, dan pemantauan serta penilaian keberhasilan program-program penanggulangan HIV. Disadari pula bahwa kita perlu memperbarui tekad bersama dengan berbasiskan informasi terakhir tentang situasi epidemi HIV di Indonesia agar bersama dapat merespon dan menyadari bersama tentang potensial masalah yang akan terjadi bila kita terlambat meresponnya.
Saat ini tingkat epidemi HIV di Indonesia sudah dalam kategori terkonsentrasi, karena prevalensi HIV pada beberapa sub-populasi berisiko telah jauh melampui 5 persen secara konsisten, tetapi belum mencapai 1 persen pada kelompok ibu hamil yang berkunjung ke pusat-pusat pelayananan kesehatan. Yang perlu kita sadari bersama bahwa tingkat epidemi tersebut menunjukkan bahwa adanya jaringan perilaku berisiko yang sangat aktif, sehingga HIV ditularkan dari individu yang satu ke individu lain yang berisiko tersebut.
Perluasan epidemi selanjutnya ditentukan oleh besarnya jalur lintas perilaku berisiko antara kelompok-kelompok berisiko yang berbeda dan juga penularan meluas ke pasangan-pasangan tetap mereka. Yang perlu diantisipasi adalah mencegah perluasan epidemi HIV selanjutnya dengan meningkatkan upaya-upaya penanggulangan HIV di Indonesia. Kita perlu mencegah kemungkinan penularan HIV dari kelompok pengguna napza suntik yang sudah tinggi – melampaui 50 persen – itu ke kelompok lain yang dapat ditularkan melalui jalur seksual.
Laporan ini disusun setelah kita memiliki informasi yang jauh lebih banyak dan lebih jelas dalam memahami perjalanan epidemi HIV di Indonesia sampai saat ini serta prediksinya di masa datang. Ini merupakan hasil dari penguatan sistem surveilans HIV dan ditambah dengan informasi dari studi-studi lain yang terkait. Diharapkan laporan ini sangat berguna untuk memfokuskan perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan di Indonesia, dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan penularan HIV yang relatif cepat serta mencegah dampak buruk epidemi tersebut pada kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat.

Fakta Penting tentang HIV/AIDS Tahun 2002


  1. Jumlah orang rawan tertular HIV di Indonesia diperkirakan antara 13 juta-20 juta orang

  2. Jumlah orang dengan HIV di Indonesia sampai 2002, diperkirakan antara 90 000 - 130 000 orang.

  3. Tingkat penularan HIV tertinggi pada penjaja seks yang pernah dilaporkan di Papua, sekitar 26 persen.

  4. Tingkat penularan HIV pada pengguna napza suntik yang dirawat di Jakarta sekitar 48 persen. Dan 53 persen pada kelompok narapidana yang terlibat napza di Bali.

  5. Hasil survei surveilans perilaku di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari separuh kelompok lelaki dengan mobilitas tinggi membeli jasa seks setahun terakhir ini. Sebagian besar lelaki tersebut mempunyai pasangan tetap, isterinya.

  6. Diperkirakan ada sekitar 7-10 juta lelaki pelanggan penjaja seks di Indonesia. Yang memprihatinkan, ternyata tidak sampai 10 persen yang mau melindungi dari risiko penularan dengan menggunakan kondom secara teratur pada setiap kegiatan seks komersial tersebut.

  7. Sekitar 30 persen pelajar pria di SMU Jakarta pernah mencoba napza dan sekitar 8 persen pelajar pria pernah melakukan hubungan seks.

  8. Studi perilaku pengguna napza suntik di beberapa kota menunjukkan perilaku berisiko yang merisaukan, yaitu sebagian besar menggunakan secara bersama alat suntik yang tak steril serta sekitar 30 persen lebih melakukan seksual yang aktif dengan membeli jasa seks tanpa pakai kondom.

  9. Tingkat penularan pada kelompok waria penjaja seks telah mencapai sekitar 22 persen, meningkat tajam hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun 1997.

  10. Penularan HIV sudah meluas ke istri. Telah dilaporkan di beberapa wilayah di Jakarta, penularan HIV sudah masuk ke pasangan dari kelompok berisiko, ada sekitar 3 persen dari 500 ibu hamil yang dites secara sukarela sudah terkena HIV.

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu PenanggulanganLebih Nyata



Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
2002


Prakata
Pada Sidang Kabinet sesi khusus HIV/AIDS yang lalu telah dilaporkan tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada sidang Kabinet kali ini, laporan disusun berdasarkan informasi-informasi terbaru yang dikumpulkan melalui sistem surveilans HIV dan beberapa studi yang terkait, yang memperkuat perkiraan tentang potensial ancaman epidemi HIV/AIDS di Indonesia.
Dua jalur utama penularan yang mendorong percepatan tingkat penularan HIV di Indonesia adalah jalur penularan seksual berisiko dan jalur penularan pada pengguna napza suntik. Rendahnya pemakaian kondom pada hubungan seks berisiko serta tingginya penggunaan bersama alat suntik tidak steril pada napza suntik merupakan perilaku yang perlu diubah agar kita dapat mencegah penularan HIV. Disadari bahwa upaya penanggulangan HIV belum menjangkau sebagian besar kelompok berisiko tinggi. Selain keterbatasan sumber daya, juga dirasakan masih kurang peran-serta semua pihak agar upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dapat didukung oleh kita semua.
Diperkirakan tahun 2002 ini ada sekitar 90 ribu-130 ribu orang dengan HIV (ODHA) di Indonesia. Upaya dukungan dan peningkatan akses terhadap pengobatan anti retroviral serta anti infeksi oportunistik sangat penting agar para ODHA mampu hidup secara produktif.
Sidang kabinet sesi khusus HIV/AIDS kedua kali ini bertepatan dengan hari AIDS sedunia 1 Desember 2002 yang mengambil tema ”Tetap Hidup dengan Tegar” (Live and Let Live) merupakan tema kampanye global untuk 2002-2003. Sesuai kesepakatan global, Indonesia mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS dan sekaligus mengurangi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA. Dari sidang kabinet ini diharapkan dukungan dan komitmen dari semua pihak untuk mewujudkan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih berdampak untuk menurunkan tingkat penularan HIV yang semakin meluas.

Jakarta, November 2002



Dr. Achmad Sujudi
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Nasional